Pada masa-masa sekarang, sebagian besar manusia kesibukannya ialah mencari kehidupan dunia. Mereka beranggapan bahwa dengan banyaknya dunia yang dia dapatkan akan menenteramkan masa depannya. Mereka berpikir bahwa dengan banyaknya yang diraup dari dunia akan membahagiakannya pada kehidupan mendatang. Sehingga akhirnya mereka pun lalai dari peribadatan kepada Allah ta’ala. Manusia tidak akan puas dengan apa yang diraihnya. Sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
وَلَا يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ
“Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak cucu Adam melaikan tanah”. (HR. Al Bukhari no: 6438)
Itulah kerakusan dan ketamakan manusia. Maka itu sampai Allah ta’ala menurunkan sebuah surat yang menjelaskan kondisi lalainya manusia yang disebabkan kesibukannya terhadap dunia. Bagaimanakah penjelasannya? Mari kita simak di dalam rubrik Bahasan Utama.
Setiap manusia yang ada di atas muka bumi ini baik muslim atau non muslim, mukmin atau kafir, tua maupun muda semuanya mencintai harta dan keindahannya. Hal itu menjadi tabi’at dasar manusia yang ada di dalam diri-diri mereka. Allah ta’ala berfirman dalam banyak ayat-Nya tentang hal tersebut:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali ‘Imron ayat: 14)
Di dalam ayat lain Allah ta’ala juga berfirman:
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمَّا
“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan” (QS. Al Fajr ayat: 20)
Serta ayat-Nya juga:
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan”. (QS Al ‘Adiyat ayat: 8)
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada kita semua:
قَلْبُ الشَّيْخ شَابٌّ عَلَى حُبّ اثنتين : طُولُ الْحَيَاةِ وَحُبُّ الْمَالِ
“Hati orang yang tua renta senantiasa muda dalam mencintai dua perkara: hidup yang panjang dan cinta terhadap harta”. (HR. AI Bukhari no: 6420 dan Muslim no: 1046)
Di dalam surat At Takatsur ini Allah ta’ala menceritakan kondisi orang-orang yang lalai disebabkan mereka membanggakan diri-diri mereka dengan banyaknya sesuatu.
Secara garis besar surat At Takatsur ini membahas tentang tiga hal besar. Pada ayat yang pertama dan kedua akan membahas tentang sifat manusia yang cinta dan bermegah- megahan terhadap harta sehingga mereka lalai karena hal tersebut. Lalu pada ayat yang ketiga hingga ketujuh berisikan tentang adanya siksa bagi orang yang lalai karena harta tersebut. Selanjutnya pada ayat yang kedelapan Allah ta’ala. menceritakan tentang adanya pertanyaan dari nikmat-nikmat yang kita rasakan.
Surat At Takatsur ialah surat Makkiyyah yang turun kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum hijrah.
Pada ayat yang kesatu Allah ta’ala berfirman:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1)
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”
Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata tentang ayat di atas:
شغلكم حب الدنيا ونعيمها وزهرتها عن طلب الآخرة وابتغائها ، وتمادى بكم ذلك حتى جاءكم الموت وزرتم المقابر ، وصرتم من أهلها
“Kecintaan terhadap dunia, kenikmatannya dan keindahannya, telah melalaikan kamu dari mencari akhirat. Dan itu terus terjadi pada kamu sehingga kematian mendatangimu dan kamu mendatangi kuburan serta menjadi penghuninya”
Imam Al Baghawi rahimahullahu berkata:
شغلتكم المباهاة والمفاخرة والمكاثرة بكثرة المال والعدد عن طاعة ربكم وما ينجيكم من سخطه
“Telah melalaikan kalian kenikmatan, berbangga-bangga, berbanyak-banyak terhadap harta dan banyaknya harta dari keta’atan kepada Rabb kalian, dan itu semua tidak menyelamatkan kalian dari murka-Nya”
Sebagian ulama’ diantaranya Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu mengatakan “Mengapa di dalam ayat ini Allah ta’ata tidak menyebutkan hal apa yang menjadikan manusia lalai karena pada setiap hal yang melekat pada diri manusia berpotensi untuk melalaikannya“. (At Tafsir al Qoyyim hal: 575-576)
Hal tersebut juga dikuatkan oleh perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu yaitu “Bermegah-megahan bisa mencakup banyak hal. Bisa bermegah-megahan dengan harta, kabilahnya (suku), kedudukan yang dimiliki, ilmu yang dihafal, dan yang lain-lain. Hal itu dikuatkan dalam sebuah ayat Allah ta’ala berfirman:
أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا
“Harta-hartaku lebih banyak darimu dan pengikut-pengikutku lebih kuat darimu” (QS. Al Kahfi ayat: 34)”. (Tafsir Al Qur’an Al Karim Juz ‘Amma hal: 302)
Maka dari itu tidaklah heran ketika nanti pada hari kiamat akan banyak sekali manusia yang terjerumus ke dalam neraka. Yang salah satu sebabnya ialah karena berbangga-bangga dengan jumlah yang banyak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يقول الله تَعَالَى: يَا آدَمُ، فيَقولُ: لَبَّيْكَ وسَعْدَيْكَ، والخَيْرُ في يَدَيْكَ، فيَقولُ: أَخْرِجْ بَعْثَ النَّارِ، قال: وما بَعْثُ النَّارِ؟ قَالَ: مِن كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَ مِئَةٍ وتِسْعَةً وتِسْعِينَ
“Allah berfirman: ‘Wahai Adam’. Ia pun menjawab: ‘Ya, aku memenuhi panggilan-Mu, dan kebaikan ada di tangan-Mu’. Allah berfirman: ‘Keluarkanlah ba’tsun naar!’ Ia bertanya: ‘Apakah ba’tsun naar itu?’ Allah berfirman: ‘Dari setiap 1000 orang, 999 orang sebagai ba’tsun naar (penghuni neraka)”. (HR. AL Bukhari no: 3348)
Oleh sebab itu, Allah ta’ala mengingatkan seluruh manusia dalam sebuah ayat-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al Munafiqun ayat 9)
Dalam tafsir Ibnu Katsir juga disebutkan
وذكر الحافظ ابن عساكر، في ترجمة الأحنف بن قيس – واسمه الضحاك – أنه رأى في يد رجل درهما فقال : لمن هذا الدرهم ؟ فقال الرجل : لي . فقال : إنما هو لك إذا أنفقته في أجر أو ابتغاء شكر . ثم أنشد الأحنف متمثلا قول الشاعر : أنت للمال إذا أمسكته فإذا أنفقته فالمال لك
“Al Hafizh Ibnu ‘Asakir menyebutkan di dalam biografi Al Ahnaf bin Qais dan Namanya adalah Adh-Dhahhak bahwasannya dia pernah melihat uang dirham di tangan seseorang, lalu ia bertanya: Milik siapa dirham ini?’ lalu orang itu berkata kepadaku, dia mengatakan: ‘Uang itu akan menjadi milikmu jika engkau menginfakkannya, baik untuk memperoleh pahala maupun untuk mendapatkan rasa syukur’ Kemudian Al Ahnaf mengumandangkan ungkapan seorang penyair: ‘Engkau akan menjadi milik hartamu jika engkau menahannya, dan jika engkau menafkahkannya maka harta itu akan menjadi milikmu”.
حَتَّى زُرتُمُ الْمَقَابِرَ (2)
“Sampai kamu mengunjungi (masuk ke dalam) kuburan”
Di dalam ayat ini ada beberapa makna atau tafsirannya diantaranya Imam Ath Thobari rahimahullahu berkata:
وفي هذا دليل على صحة القول بعذاب القبر
“Ini adalah dalil tentang benarnya azab kubur”
Hal tersebut diperkuat dengan perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu:
كنا نشك فى عذاب القبر،حتى نزلت أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
“Dahulu kami ragu tentang adanya azab kubur, hingga turunnya ayat dalam surat At Takatsur”
Adapun Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah:
صرتم إليها ودفنتم فيها
“Engkau menyibukkan dengan berbangga-bangga, hingga akhirnya engkau mendatangi kuburan (mati)”.
Hal ini selaras dengan sebuah hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أنَّ النبيَّ صَلَّى الله عليه وسلَّمَ دَخَلَ علَى أَعْرَابي يَعُودُهُ، قَالَ: وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عليه وسلَّمَ إِذَا دَخَلَ عَلَى مَرِيضٍ يَعُودُهُ قَالَ : لا بَأْسَ ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقَالَ له: لا بَأْسَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ قَالَ: قُلتُ: طَهُورٌ ؟كَلَّا بَلْ هي حُمَّى تَفُورُ، أَوْ تَثُورُ، عَلَى شيخ كَبِيرٍ، تُزيرُهُ القُبُورَ، فَقَالَ النبي صَلَّى الله عليه وسلَّمَ: فَنَعَمْ إِذًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menengok seorang laki-laki baduwi yang sakit, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Laa ba’sa Thohuurun In sya Allah (Tidak mengapa, in sya Allah sebagai pembersih dosa). Laki-laki itu mengatakan: ‘Engkau berkata sebagai pembersih dosa?’ Bahkan ini adalah demam yang bergejolak pada seorang laki-laki tua yang akan menghantarkannya ke kuburan!’ Beliau bersabda: ‘Baiklah kalau begitu”. (HR. Al Bukhari no: 3616)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu berkata:
استدل به عمر بن عبد العزيز – رحمه الله – على أن الزائر لابد أن يرجع إلى وطنه، وأن القبور ليست بدار إقامة، وكذلك يذكر عن بعض الأعراب أنه سمع قارىء يقرأ: {ألهاكم التكاثر حتى زرتم المقابر فقال: «والله ما الزائر بمقيم والله لنبعثن» لأن الزائر كما هو معروف يزور ويرجع
“umar bin Abdul Aziz berdalil dengan ayat ini bahwa sesungguhnya orang yang berziarah pasti akan kembali ke negerinya (tempat asalnya). Sedangkan kuburan bukanlah tempat untuk menetap”. (Tafsir Al Qur’an Al Karim Juz ‘Amma hal: 302)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu juga berkata:
“Firman Allah, (yang artinya) ‘Sampai kamu mengunjungi kuburan’, maksudnya sampai kamu mati. Manusia itu memiliki karakter senang bermegah-megahan dengan banyaknya (perkara dunia) sampai mati. Bahkan setiap kali umur bertambah tua, angan-anganpun bertambah besar. Maka manusia itu bertambah tua umurnya, namun angan-angannya muda. Sehingga ada orang yang berumur 90 tahun, namun engkau mendapatinya memiliki banyak angan-angan dan panjang angan-angan yang tidak ada pada seorang pemuda yang berumur 15 tahun. Inilah makna ayat yang mulia ini, yaitu bahwa kamu telah menjadi lalai terhadap akhirat sampai kamu mati dengan sebab bermegah-megah dengan banyaknya (kesenangan dunia)”. (Tafsir Al Qur’an Al Karim Juz ‘Amma hal: 302)
Maka dari itu agar kita tidak bermegah-megahan, hendaknya kita sering berziarah kubur melihat kondisi manusia-manusia yang Allah ta’ala sudah ambil ruhnya dan tidak bisa beramal apapun lagi. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
“Berziarahlah ke kuburan, karena hal tersebut mengingatkanmu tentang akhirat. (HR. Ibnu Majah no: 1558)
كلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4)
“Janganlah demikian, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan Janganlah demikian, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)”
Imam Al Qurthubi rahimahullahu berkata menukil kata Imam Al Farra’ rahimahullahu:
ليس الأمر على ما أنتم عليه من التفاخر والتكاثر والتمام على هذا وسوف تعلمون عاقبة هذا
“Yaitu, urusannya tidak sebagaimana yang kamu lakukan, yaitu kamu saling berbangga dan saling bermegah-megah dengan banyaknya jumlah, kamu akan mengetahui akibatnya”.
Imam Ath Thabari rahimahullahu berkata:
سوف تعامون إذا زرتم المقابر، أيها الذين ألهاهم التكاثر، غبّ فعلكم واشتغالكم بالتكاثر في الدنيا عن طاعة الله ربكم
“Kalian akan mengetahui (akibat dari perbuatan kalian) jika kalian sudah mengunjungi kuburan (mati) wahai orang-orang yang lalai. Setelah kalian tersibukkan dengan bermegah-megahan dari keta’atan kepada Allah Rabb kalian”.
Kedua ayat di atas berisi tentang ancaman dari Allah ta’ala akibat dari perbuatan kita yang lalai kepada Allah ta’ala. Seperti kata Imam Ibnu Katsir rahimahullahu yang mengambil perkataan Imam Al Hasan Al Bari rahimahullaha
هذا وعيد بعد وعيد
Ini adalah ancaman di atas ancaman”
Mengapa Allah ta’ala mengulang ayat ini? Imam Al Qurthubi rahimahullahu berkata:
ويحتمل أن يكون تكراره على وجه التأكيد والتغليظ
“Ayat ini terulang (ayat ke-4 mengulang ayat ke-3) maksudnya adalah untuk menguatkan (ancaman)”
Sebagian ulama’ tafsir mengatakan bahwa maksud ayat yang ke-3 ialah mereka akan mendapatkan siksa ketika mereka berada di alam kubur. Seperti kisah ruh orang kafir yang akan dicabut nyawanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اخْرُجي أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيثَةُ ، كَانَتْ في الجَسَدِ الخَبِيثِ ، اخْرُجي ذَمِيمَةً ، وَأَبْشِرِي بِحَمِيمٍ ، وَغَسَّاقٍ ، وَآخَرَ مِنْ شَكْلِهِ أَزْوَاجٌ، فَلَا يَزَالُ يُقَالُ لَهَا ذَلِكَ حَتَّى تَخْرُجَ ، ثُمَّ يُعْرَجُ بِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، فَلَا يُفْتَحُ لَهَا ، فَيُقَالُ مَنْ هَذَا ؟ فَيُقَالُ: فُلَانٌ ، فَيُقَالُ : لَا مَرْحَبًا بِالنَّفْسِ الْخَبِيثَةِ ، كَانَتْ فِي الْجَسَدِ الخَبِيثِ ارْجِعِي ذَمِيمَةً ، فَإِنَّهَا لَا تُفْتَحُ لَكِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ ، ثم تصير إلى القبر
“Keluarlah wahai jiwa yang buruk, dahulu engkau berada di tubuh yang buruk. Keluarlah dalam kondisi hina. Beri kabar gembira dengan Hamim dan Gossak (bau busuk) dan lainnya berbentuk berpasangan. Senantiasa dikatakan seperti itu sampai (ruhnya) keluar. Kemudian dinaikkan ke langit. Tidak dibukakan baginya. Dikatakan, ‘Siapa ini?’ Dikatakan: ‘Fulan’ Dikatakan: ‘Tidak ada selamat datang dengan jiwa yang buruk. Dahulu di tubuh yang jelek Keluarlah dalam kondisi hina. sesungguhna dia tidak dibukakan pintu-pintu langit. Maka dilemparkannya dari langit ,”kemudian sampai ke kuburan”. (HR. Ibnu Majah no:4552)
Lalu ayat yang ke-4 maksudnya ialah mereka akan mendapatkan siksa tersebut di hari akhirat (neraka). Seperti kisah fir’aun yang Allah ta’ala abadikan di dalam Al Qur’an:
فَوَقَاهُ اللَّهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ (54) النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
“Maka Allah memeliharanya (Musa) dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”. (QS. Al Mu’min ayat: 45-46)
Kemudian sebagian ahli tafsir diantaranya Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata bahwa ayat yang ke-3 itu maksudnya ialah untuk orang-orang kafir dan ayat yang ke-4 untuk orang-orang mukmin.
Orang mukmin juga bisa tergelincir dalam kesalahan, maka dari itu mereka juga terkena ancaman ayat ini. Maka dari itu sebagian ulama’ mengumpamakan bahwa iman yang ada di dalam diri seorang mukmin merupakan barang berharga yang ada di dalam rumah. Barang berharga tersebut harus dijaga, berbeda dengan orang-orang kafir yang sudah tidak memiliki iman alias barang berharga tersebut. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الإِيمَانَ إِلَّا مَنْ يحب
“Sesungguhnya Allah memberi harta kepada orang-orang yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai. Sedangkan Iman tidak diberikan kecuali kepada orang- orang yang Dia cintai” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrod no: 279)
Sebagian salaf rahimahumullahu juga berkata:
لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ
“Jika seandainya para raja dan anak para raja (pangeran) mengetahui iman yang di dalam dada-dada kami, pasti mereka akan menyiksa kami dengan pedang-pedang mereka”. (Al Wabil Ash Shoyyib)
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
“Janganlah begitu, Jika kamu mengetahui dengan ilmu yaqin“
Imam As Sa’di rahimahullahu berkata:
لو تعلمون ما أمامكم علما يصل إلى القلوب، لما ألهاكم التكاثر، ولبادرتم إلى الأعمال الصالحة
“Kalau seandainya kalian. mengetahui apa yang ada di hadapan kalian (dari balasan-balasan perbuatan) dengan ilmu ke dalam hati-hati kalian, kalian pasti akan bersegera dalam mengerjakan amalan-amalan shalih”
Imam Al Baghawi rahimahullahu berkata:
قال قتادة : كنا نتحدث أن علم اليقين أن يعلم أن الله باعثه بعد الموت
“Qatadah rahimahullahu berkata: ‘Kami berbincang tentang makna ‘ilmul yaqin’, maksudnya ialah hendaknya manusia tahu bahwa Allah ta’ala akan membangkitkannya setelah kematiannya”
Ketahuilah membangkitkan manusia dari dalam kuburnya adalah hal sangat mudah bagi Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
“sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia” (QS Yaasin ayat: 82)
لَتَرَوُنَّ الجَحِيمَ
“Niscaya kelak kamu akan benar-benar melihat neraka Jahim”
Pada hari kiamat orang-orang musyrik dan orang-orang fasiq akan melihat tempat Kembali mereka yaitu di neraka jahim Makna ‘kamu’ di dalam ayat ini memiliki dua makna. Makna yang pertama maksudnya ialah orang orang kafir. Sesuai dengan firman Allah ta’ala:
وَرَأَى الْمُجْرِمُونَ النَّارَ فَظَنُّوا أَنَّهُمْ مُواقِعُوهَا وَلَمْ يَجِدُوا عَنْهَا مَصْرِفًا
“Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini, bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling dari padanya”. (QS. AL Kahfi ayat: 53)
Sedangkan penafsiran kedua akan ditampakkan kepada semua manusia. Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
“Dan tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan akan mendatangi neraka itu“. (QS. Maryam ayat: 71)
ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin”
Imam As Sa’di rahimahullahu mengatakan:
رؤية بصرية
“Dengan penglihatan sendiri”.
Maksudnya ialah seluruh manusia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang betapa dahsyatnya neraka yang dulu mereka lalaikan. Neraka bisa ditampakkan saat seorang masih di dalam kuburnya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيُقَالُ هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika seorang dari kalian meninggal dunia maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduk (tinggal) nya setiap pagi dan petang hari. Jika dia termasuk penduduk surga, maka akan (melihat kedudukannya) sebagai penduduk surga dan jika dia termasuk penduduk neraka, maka akan (melihat kedudukannya) sebagai penduduk neraka lalu dikatakan kepadanya inilah tempat duduk tinggalmu hingga nanti Allah membangkitkanmu pada hari kiamat”. (HR. AL Bukhari no: 1290)
Tentang perbedaan makna ilmul yaqin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata:
منها: أن يقال: {عِلْمَ الْيَقِينِ} ما علمه بالسماع والخبر والقياس والنظر، و عَيْنَ الْيَقِينِ ما شاهده وعاينه بالبصر، و حَق الْيَقِينِ} ما باشره ووجده وذاقه وعرفه بالاعتبار. فالأول: مثل من أخبر أن هناك عسلا، وصدق المخبر. أو رأى آثار العسل فاستدل على وجوده. والثاني: مثل من رأى العسل وشاهده وعاينه والثالث: مثل من ذاق العسل، ووجد طعمه وحلاوته، ومعلوم أن هذا أعلى مما قبله
“Ilmul yaqin’ maknanya ialah sesuatu yang diyakini hanya dengan mendengar saja, kabar saja, dan berpikir saja. Adapun ‘ainul yaqin’ ialah sesuatu yang diyakini dengan melihatnya atau menyaksikannya. Adapun ‘haqqul yaqin’ ialah sesuatu yang diyakini dengan merasakannya secara langsung. Contohnya seseorang memberitahumu bahwa disana ada madu, dan anda langsung membenarkannya maka ini adalah. ‘Ilmul yaqin. Jika anda meyakininya dengan melihatnya maka ini adalah ‘ainul yaqin’ Dan yang ketiga jika anda yakin dengan mencicipi madu tersebut dan merasakannya maka ini adalah haqqul yaqin“. (Majmu’ Al fatawa 10/645-646)
Hendaklah kita sebagai kaum muslimin harus meyakini dengan ‘ilmul yaqin’ bahwa surga dan neraka itu sudah dipersiapkan. Agar kita nanti menjadi orang yang memilih jalan-jalan yang mendekatkan ke surga dan memasukkan ke dalam surga saat menjalani kehidupan ini.
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan”
Orang mukmin dan orang kafir akan ditanyai oleh Allah ta’ala. tentang kenikmatan-kenikmatan yang dia dapatkan dalam kehidupannya. Semua nikmat akan-ditanya oleh Allah ta’ala termasuk hal yang ringan seperti minum. Dalam sebuah hadis, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan:
خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَاعَةٍ لَا يَخْرُجُ فِيهَا وَلَا يَلْقَاهُ فِيهَا أَحَدٌ فَأَتَاهُ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ مَا جَاءَ بِكَ يَا أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ خَرَجْتُ أَلْقَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْظُرُ فِي وَجْهِهِ وَالتَّسْلِيمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ جَاءَ عُمَرُ فَقَالَ مَا جَاءَ بِكَ يَا عُمَرُ قَالَ الْجُوعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَدْ وَجَدْتُ بَعْضَ ذَلِكَ فَانْطَلَقُوا إِلَى مَنْزِلِ أَبِي الْهَيْثَمِ بْنِ التَيهَانِ الْأَنْصَارِي وَكَانَ رَجُلًا كَثِيرَ النَّخْلِ وَالشَّاءِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ خَدَمٌ فَلَمْ يَجِدُوهُ فَقَالُوا لِامْرَأَتِهِ أَيْنَ صَاحِبُكِ
فَقَالَتْ انْطَلَقَ يَسْتَعْذِبُ لَنَا الْمَاءَ فَلَمْ يَلْبَثُوا أَنْ جَاءَ أَبُو الْهَيْثَم بِقِرْبَةٍ يَزعَبُهَا فَوَضَعَهَا ثُمَّ جَاءَ يَلْتَزِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُفَدِّيهِ بِأَبِيهِ وَأُمِّهِ ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِمْ إِلَى حَدِيقَتِهِ فَبَسَطَ لَهُمْ بِسَاطًا ثُمَّ انْطَلَقَ إِلَى نَخْلَةٍ فَجَاءَ بِقِنو فَوَضَعَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَلَا تَنَقَّيْتَ لَنَا مِنْ رُطَبِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ تَخْتَارُوا أَوْ قَالَ تَخَيَّرُوا مِنْ رُطَبِهِ وَبُسرِهِ فَأَكَلُوا وَشَرِبُوا مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا وَالَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ مِنْ النَّعِيمِ الَّذِي تُسْأَلُونَ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ظِلُّ بَارِدٌ وَرُطَبٌ طَيِّبٌ وَمَاء بَارِد
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam keluar rumah pada saat yang tidak biasa beliau keluar dan tidak ada seorangpun yang bertemu dengannya, kemudian Abu Bakar menemuinya lalu beliau bertanya: ‘Apa yang membuatmu datang wahai Abu Bakar?’ Abu Bakar menjawab: ‘Aku keluar untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam dan aku melihat ke arah wajah beliau dan beliau menerimanya’. Tidak lama kemudian datanglah ‘Umar lalu beliau bertanya: ‘Apa yang membuatmu datang wahai ‘Umar?’ ‘Umar menjawab: ‘Karena lapar wahai Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: ‘Saya juga merasakan sedikit lapar, maka pergilah kalian ke rumah Abul Haitsam bin At Taihan Al Anshari, dia adalah seorang lelaki yang mempunyai banyak kurma dan kambing tapi dia tidak mempunyai pelayan. Namun mereka tidak menemukannya, mereka bertanya kepada istrinya: ‘Dimana suamimu?’ istrinya menjawab: ‘Dia sedang mengambil air untuk kami’. Tidak lama mereka menunggu tiba-tiba datanglah Abul Haitsam dengan membawa tempat air yang berisi air penuh lalu dia meletakkannya, kemudian dia datang dan mendekap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam sambil bersumpah rela mengorbankan bapak dan ibunya demi beliau, kemudian dia pergi bersama mereka menuju perkebunannya dan menghamparkan tikar untuk mereka, lalu dia pergi menuju sebuah pohon kurma dan kembali dengan membawa setangkai kurma kemudian meletakkannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bertanya: ‘Maukah kamu memilihkan kurma basahnya untuk kami?’ dia menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku ingin baginda sendiri yang memilihnya -atau dia berkata: Silahkan kalian. pilih kurma basah dan kurma mudanya’. Lalu mereka makan kurma dan minum dari air itu, setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan- Nya, ini termasuk kenikmatan yang akan ditanyakan kepada kalian kelak pada hari kiamat; tempat berteduh yang dingin, kurma basah yang lezat dan air tawar”. (HR. At Turmudzi no: 2292)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu menambahkan:
“Adapun orang mukmin ditanya tentang nikmat-nikmat tersebut dalam rangka untuk mengingatkan banyaknya nikmat Allah kepadanya, agar mereka bergembira dengan nikmat-nikmat yang akan didapatkan di akhirat nanti. Untuk orang-orang kafir maka pertanyaan tentang nikmat- nikmat tersebut dalam rangka penghinaan kepada mereka dan menjadikan mereka menyesal”. (Tafsir Al Qur’an Al Karim Juz ‘Amma hal: 306)
Semoga Allah menjadikan kita orang yang masuk ke dalam surga dan melepaskan kita dari neraka- Nya yang pedih
Penulis : Ustadz Ananda Ridho Gusti
Majalah Bulan Agustus, 2019 Edisi 81