Solusi Investasi Akhirat Anda

Nama Allah Al-Waduud

Nama Allah Al-Waduud (الودود)

A. Makna Al-Waduud (الودود)

Disebutkan di dalam kamus Lisanul ‘Arab, Al-Waduud (الودود) mashdarnya adalah wudd (ود) dan mawaddah (مودة) yang berarti suka atau cinta.

Al-Farro’ mengatakan: Ini (penjelasan di atas) adalah sebaik-baiknya penjelasan. Ada yang mengatakan: وَدَدْتُ – يَوَدُّ  adalah bentuk fi’il-nya, tidak ada bentuk lainnya. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an:

يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ [البقرة: 96]

Az-Zajaj mengatakan: Al-Waduud (الودود) berpola fa’uul (فَعُوْل) bisa sebagai isim faa’il, bermakna yang mencintai atau sebagai isim maf’ul bermakna yang dicintai. 

B. Makna Al-Waduud (الودود) Sebagai Nama Allah

Ibnu Jarir mengatakan mengatakan: Al-Waduud (الودود), Dzat Yang Mencintai orang yang ber-inabah dan taubat kepada-Nya.

Ibnul Qoyyim berkata makna Al-Waduud (الودود)  ada dua makna;

  1. Bermakna Faa’il (فاغل) atau subjek, maksudnya Dia Dzat Yang Mencintai para Nabi-Nya, para Rasul-Nya, para Wali-Nya dan hamba-hamaba-Nya yang beriman.
  2. Bermakna Maf’uul (مفعول) atau objek, maksudnya Dia Dzat Yang Dicintai karena memang memili hak yang demikian itu. Dia harus dicintai melebihi apapun yang seorang hamba mencintainya. Dia harus dicintai melebihi cintanya seorang hamba kepada telinganya, matanya dan apapun yang dicintainya [selesai].

Syaikh As-Sa’di menjelaskan sama dengan penjelasan Ibnul Qoyyim tetapi dengan redaksi yang berbeda; Dia itu Waadd (وادّ) dan Mawduud (مودود) artinya Dzat Yang Mencintai dan Dicintai. Dia mencintai para Nabi-Nya, para Rasul-Nya dan para pengikut mereka juga sebaliknya merekapun mencintai-Nya. Dia lebih mereka cintai melebihi apapun dan siapun. Hati mereka dipenuhi rasa cinta kepada-Nya. Lisan mereka terus-menerus memuji-Nya. Keikhlasan dan inabah mereka kepada-Nya dalam semua perkara begitu  mengkristal [selesai].

Syaikh As-Sa’di juga menjelaskan yang saya nukil dengan terjemah bebas: Jangan pernah membandingkan cinta Allah kepada para kekasih-Nya dengan cinta manusia kepada lainnya. Sungguh tidak mungkin dibandingkan dalam segala aspeknya baik pada pokoknya, cabangnya, bagaimananya, dan keterkaitan-keterkaitannya. Ini sesuatu yang pasti yang hanya bisa diyakini tanpa bisa dikalkulasi. Yang wajib bagi kita adalah adanya kecintaaan kepada-Nya dalam hati kita dengan kadar kecintaan yang melampuai kecintaan terhadap siapapun dan apapun. Juga adanya keharusan untuk mencintai siapapun atau apapun yang Dia cintai sebagai bentuk cinta kita kepada-Nya. Cinta kepada Allah adalah ruh seluruh amal. Seluruh peribadahan yang lahir dan batin tidak terwujud melainkan berasal dari kecintaan kepada-Nya [selesai].

C. TADABBUR

1. Cinta sejati kepada Allah haruslah melahirkan keikhlasan dalam beribadah, mendahulukan apa yang Dia cintai daparipada yang lainnya. Dari sini jelaslah, tidak mungkin orang yang cinta Allah mencintai orang yang Dia murkai. Juga tidak mungkin membenci orang yang Allah cintai. Demikian pula tidak mungkin dia mencintai sesuatu yang Dia murkai sebagaimana tidak mungkin membenci sesuatu yang Dia cintai.

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan yang kurang lebihnya: Tidak ada siapapun yang memiliki hak secara mutlak dan otomatis untuk dicintai kecuali Allah. Sebagaimana tidak ada yang menciptakan tanpa adanya bahan/materi dan contoh sebelumnya kecuali Allah. Hal ini juga sebagaimana tidak ada Robb (Pencipta, Pemilik dan Yang Bertindak sekehendaknya atas ciptaan dan milik-Nya tersebut) kecuali Allah maka Dialah yang secara mutlak dan otomatis harus diibadahi. Sebagaimana juga tidak ada Penemu sesuatu tanpa bahan/materi sebelumnya sehingga dia disebut Robb kecuali Allah.

3. Semakin kuatnya rasa rindu kepada Allah, menjadi tenang dengan mengingat-Nya, mendekat kepada-Nya dan semakin merasakan manis di dalam bermunajat kepada-Nya. Ibnul Qoyyim berkata: Barangsiapa yang memahami makna nama Allah Al-Waduud (الودود)  dan menjiwainya maka akan melahirkan pengaruh yang luar biasa. Dia akan disibukkan dengan cinta, kerinduan, dan manisnya kejiwaan kepada Allah yang semakin tinggi bersamaan dengan semakin mendalamnya pemahaman.

4. Memahami salah satu makna nama Allah Al-Waduud (الودود)  yaitu Waadd (وادّ) yang artinya Dzat Yang Mencintai, mari kita renungkan! Sebagai contoh: adakah seseorang yang berangkat dari cintanya berbuat baik kepada orang lain tanpa suatu keuntungan? Majikan setelah memberikan gaji besar lalu masih menambah  insentif-insentif kepada karyawan karena prestasi kerjanya dimana ia diuntungkan dengan prestasi kerjanya tersebut. Seorang saudagar setelah memberikan banyak diskon kepada para pelanggannya masih menambahi mereka dengan banyak bonus-bonus. Hal ini karena mereka mencapai target-target penjualan di mana dia diuntungkan dengan hal ini. Mari lanjut merenungkan, kebaikan-kebaikan Allah karena kecintaan-Nya kepada makhluk sangatlah banyak dan tidak mungkin bisa dihitung. Adakah Allah diuntungkan dari amalan-amalan para hamba-Nya? Sedikitpun tidak. Allah tidak akan menjadi lebih Agung karena banyaknya ketaatan dari para hamba. Sebagaimana keagungan-Nya tidak akan berkurang karena banyaknya kemaksiatan para hamba-Nya. Keagungan-Nya sudah merupakan sifat dan dzat-Nya tanpa ada unsur atau faktor apapun. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,

وَقَالَ مُوسَى إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ  [إبراهيم: 8]

Dan Musa berkata: Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya kufur kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya Maha Terpuji (QS. Ibrahim:8)

Dari renungan ini, sadarlah kita betapa kita sudah sepatutnya miningkatkan cinta kita kepada Allah.

5. Syaikh As-Sa’di mengatakan: Maha Suci Allah yang telah menjadikan dan menempatkan rasa cinta di dalam hati kaum mukminin, kemudian rasa cinta itu Dia terus tumbuhkan dan kuatkan hingga mencapai kadar cintanya para Ashfiya’ (orang-orang pilihan) di mana segala apapun menjadi pudar dikalahkan oleh cinta kepada-Nya sehingga seluruh beban musibah dirasakannya ringan dan beratnya peribadahan dirasakannya ringan yang akhirnya mencapai bentuk-bentuk kemuliaan yang puncaknya adalah kerihoan-Nya.

6. Bergembira dan bersyukur atas nikmat hidayah yang kita dapatkan untuk beragama sebagaimana para As-Salafu-sh-Sholih. Mereka menetapkan Nama dan Sifat untuk Allah sebagaimana yang Dia tetapkan untuk Diri-Nya. Demikian pula seluruh Nama dan Sifat yang Nabi tetapkan untuk Allah. Semuanya itu mereka Imani tanpa takwil. Kita pun demikian. Maka inilah hidayah yang sangat tinggi. Dalam hal ini mengenai nama Allah Al-Waduud (الودود)  sebagaimana sudah dibahas di atas, demikianlah kita menetapkan dan memahami Nama tersebut untuk Allah yang maknanya sekaligus merupakan sifat-Nya. Berbeda dengan Jahmiyyah yang menolak Nama dan Sifat bagi Allah, atau mu’tazilah yang hanya mengakui Nama Allah tanpa Sifat, atau Asy’ariyyah yang mengimani keduanya tapi dengan takwil.

7. Memperkuat Ittiba’ur Rosul pada apapun yang merupakan perintah dan larangannya. Karena hal ini adalah tanda cintanya seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ [آل عمران: 31]

Katakanlah, jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni kalian dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Ali Imran:31)

Ayat ini merupakan tool untuk menguji benarnya cinta seorang hamba pada Tuhannya.

  • Cinta Allah kepada hamba menuntutnya untuk melakukan sebab-sebab yang bisa mendatangkan cinta tersebut. Yaitu: banyak mengingat-Nya, banyak memuji-Nya, memperkuat tawakkal kepada-Nya, memperkuat taqorrub kepada-Nya dengan perkara yang fardhu dan nafilah, dan semuanya itu dilakukan dengan keikhlasan. Disebutkan di dalam Hadits Qudsi,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ (صحيح البخارى)

Tidaklah hamba-Ku melakukan taqorrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai melebihi sesuatu yang Aku fardhukan kepadanya, dan Dia terus bertaqorrub kepada-Ku dengan yang sunnah-sunnah hingga Aku mencintainya” (Shohihul Bukhari)

Demikian juga kita mesti memperhatikan amalan-amalan yang secara nash Allah memujinya langsuang. Di antaranya;

a. Taubat dan bersuci,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ  [البقرة: 222]

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri (QS. Al-Baqoroh: 222)

b. Berbuat adil,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ [الحجرات: 9]

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil (QS. Al-Hujurot:9)

c. Ketaqwaan,

فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ  [آل عمران: 76]

Maka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa (QS. Ali Imron:76)

d. Sabar

وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ  [آل عمران: 146]

Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar (QS. Ali Imran:146)

e. Orang yang memperbaiki,

وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ [آل عمران: 148]

f. Tawakkal,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ [آل عمران: 159]

  • Ibnul Qoyyim mengatakan: Ada sepuluh sebab agung yang bisa mendatangkan cinta Allah;

a. Membaca Al-Qur’an dengan tadabbur dan pemahaman terhadap makna-maknanya sesuai yang Dia kehendaki. Sebagaimana seseorang membaca buku lalu memahaminya dan menjelaskannya kepada orang lain sesuai yang dikehendaki oleh penulisnya.

b. Taqorrub kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah setelah ibadah-ibadah yang fardhu.

c. Senantiasa mengingat Allah dengan hati dan lisannya dalam segala keadaan dan aktivitasnya.

d. Mendahulukan sesuatu yang dicintai oleh Allah daripada sesuatu yang dicintai oleh kita ketika jiwa diliputi oleh hawa nafsu yang sedang menguasainya, meskipun hal itu sangatlah sulit.

e. Memahami Al-Asmaul Husna dengan pemahaman yang mendalam yang disaksikan oleh hati dan tindakannya.

f. Mempersaksikan secara lahir dan batin tentang kebaikan, nikmat, dan kedermawanan-Nya

g. Terpautnya hati secara totalitas di hadapan Allah.

h. Ber-kholwat dengan-Nya di saat Dia Turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir. Lalu bermunajat, membaca firman-firman-Nya, khusyu’ di hadapan-Nya dengan penuh beradab. Kemudian ditutup dengan istighfar dan taubat.

i. Bermajlis dengan para pecinta Allah yang tulus, lalu memetik buah-buah yang baik dari perkataan mereka sebagaimana ranumnya buah-buahan. Tidak berbicara di hadapan mereka kecuali dipastikan sebagai kemaslahatan untuk Anda dan mereka.

j. Menghindarkan segala apapun yang menjadi penghalang antara hati dan Allah.

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)