Nama Allah Al-Hayiyyu (الحَيِيُّ), Pemilik sifat malu
A. Penyebutan Nama Allah Al-Hayiyyu (الحَيِيُّ) di dalam Nash
Nama Allah Al-Hayiyyu (الحَيِيُّ) disebutkan di dalam Hadits,
عَنْ يَعْلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَأَى رَجُلاً يَغْتَسِلُ بِالْبَرَازِ بِلاَ إِزَارٍ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ » (سنن أبى داود)
Dari Ya’la bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang mandi di lahan lapang tanpa mengenakan kain sarung. Beliau pun naik mimbar lalu memuji Allah dan bersabda: Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla Hayiyyun Sittiir, mencintai sifat malu dan sifat menutupi. Jika seseorang di antara kalian mandi, maka hendaklah dia menutup dirinya. (Sunan Abu Daud)
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا » (رواه أبو داود)
Dari Salman, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Tuhan kalian Tabaroka wa Ta’ala Hayiyun Karimun. Dia malu dari hamba-Nya ketika mengangkaat kedua tangannya lalu menurunkan keduanya dengan tidak mendapatkan apa-apa (HR. Abu Daud)
B. Makna Al-Hayiyyu (الحَيِيُّ) Secara Bahasa
Al-Hayiyyu (الحَيِيُّ) adalah isim fa’il dari mashdar Al-Haya-au (الحَيَاءُ) artinya yang memiliki sifat malu. Ar-Roghib mengatakan sifat malu pada manusia berupa menahan diri dari keburukan-keburukan dan menghindarkannya.
C. Makna Al-Hayiyyu (الحَيِيُّ) Sebagai Nama Allah
Sifat malu pada Allah adalah sifat sebagaimana sifat-sifat lainnya, yaitu sifat yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Tidak sama dengan sifat malu pada makhluk. Memang sama di dalam penyebutannya, yaitu “sifat malu”, tapi tentu berbeda di dalam hakikatnya. Syaikh Al-Haros rahimahullah mengatakan kurang lebihnya berikut ini: Sifat malu pada manusia adalah perubahan dan pecahnya (kejiwaan) akibat sesuatu yang dengannya seseorang merasa aib karena hal itu bisa mendatangkan celaan atau cacian. Adapun sifat malu pada Allah adalah Allah malu pada perkara yang tidak sesuai dengan keluasan rahmat-Nya, kesempurnaan pemberian-Nya, besanya ampunan-Nya dan kesempurnaan kasih sayang-Nya, maka Dia pun meninggalkan perkara tersebut [selesai]. Contoh: Disebutkan di dalam Hadits
, …. Dia MALU dari hamba-Nya ketika mengangkaat kedua tangannya lalu menurunkan keduanya dengan tidak mendapatkan apa-apa (HR. Abu Daud)
Maksud Allah MALU adalah Dia meninggalkan perkara tersebut. Artinya Allah tidak membiarkan hamba tersebut menurunkan kedua tangannya tanpa pemberian sesuatu dari-Nya.
Seorang hamba di hadapan-Nya terang-benderang berbuat maksiat dan melanggar syariat, padahal ia sangat membutuhkan-Nya. Dia sangat lemah di hadapan-Nya dan senantiasa memohon pertolonga-Nya bersamaan dengan maksiat yang diperbuatnya. Meskipun demikian, Allah sebagai Dzat Yang Maha Sempurna kekayaan-Nya dan kekuasaan-Nya MALU untuk menyingkap perbuatannya. Dia tetap menutupi aibnya dan menyediakan baginya faktor-faktor yang menjadikan aibnya tetap tertutupi tidak terbongkar, lalu berikutnya Dia pun memaafkan dan mengampuninya.
Syaikh As-Sa’di mengatakan yang kurang lebihnya: Sifat malu pada Allah menunjukkan kesempurnaan rahmat-Nya, kesempurnaan pemberian-Nya dan kesempurnaan kelembutan-Nya, di mana seorang hamba di hadapan-Nya terang benderang bermaksiat kepada-Nya padahal dia sangat membutuhkan-Nya yang sesungguhnya dia harus tunduk patuh sepenuhnya. Anugerah dan limpahan nikmat-Nya kepadanya mengharuskan dia hanya berbuat ketaqwaan. Sedikitpun tidak ada celah yang memperkenankannya untuk berbuat maksiat. Namun, Allah dengan sifat MALU-Nya tidak mensegerakan adzab dan membeberkan keburukannya. Bahkan, Dia menutupinya kemudian mengampuninya. Dan, Dia terus melimpahkan kenikmatan meskipun hamba membuat-Nya murka dengan kemaksiatan-kemaksiatannya.
D. TADABBUR
Dengan memahami sifat MALU pada Allah, maka akan melahirkan pengaruh pada kita, di antaranya:
- Semakin meningkatnya rasa cinta kita kepada Allah. Semakin meningkatnya pengagungan, pujian, dan kesyukuran kita kepada-Nya.
- Semakin meningkatnya malu kita kepada Allah Ta’ala. Mencela diri kita karena kemaksiatan yang kita perbuat dan minimnya kadar penghambaan kita kepada-Nya
- Dengan sifat malu, kita senantiasa menghindarkan diri dari memperlihatkan hal-hal yang tidak semestinya terlihat di hadapan manusia. Disebutkan di dalam Hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ (رواه النسائى)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Malu itu cabang dari iman (HR. An-Nasa’i)
Tentu malu di sini, bukanlah malu yang menyebabkan seseorang tidak mempelajari kebenaran dan terlewatkan dari kebaikan-kebaikan duniawi dan Ukhrowi. Bahkan, jika untuk mempelajari kebenaran dan meraih kebaikan-kebaikan duniawi dan ukhrowi beresiko dicela dan dimusuhi, maka seseorang harus bersabar.
Judul Buku : Memahami Al-Asma’ul Husna Jilid 4
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Untuk informasi lebih lanjut terkait bedah buku, silakan hubungi kontak di bawah ini