Solusi Investasi Akhirat Anda

Melihat dan Dilihat

Rukun Islam dan rukun Iman sudah kita bahas dalam beberapa edisi. Rukun Islam yang berupa mengucapkan dua kalimat syahadat dengan Judul “Perlukah mengenal pintunya?” Shalat dengan judul “Mungkinkah hidup tanpa kepala?”, zakat dengan judul “Dikalungi ular digigit kepalanya, Haji dengan judul “bercampur baur yuk”. Rukun iman yang berupa iman kepada Allah dengan Judul “Bertemu Allah”, iman kepada malaikat dengan judul “Bersalaman dengan malaikat”, iman kepada kitab dengan Judul “Surat dari langit”, iman kepada rasul denan judul “Tongkat para rasul”, iman kepada hari kiamat dengan judul “Ternyata akhirat tidak jauh” iman kepada takdir dengan judul “Tersenyum ketika ditimpa musibah”. Edisi kali ini, kami mengetengahkan pembahasan tentang ihsan dengan judul “Melihat dan dilihat”.

Agama Islam memiliki tiga tingkatan: Pertama: Islam terkait dengan ibadah zhahir), kedua: Iman terkait dengan ibadah batin), dan ketiga: Ihsan (beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak melihat Nya maka Allah melihat kita). Inilah tingkatan yang benar karena sesuai dengan petunjuk Nabi, bukan sebagaimana yang dikatakan orang-orang bahwa tiga tingkatan itu adalah pertama: syareat, kedua hakikat, ketiga: ma’rifat. Umar bin Khaththab berkata: “Suatu ketika kami (para Sahabat) duduk di dekat Rasulullah . Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan dan tak ada seorangpun di antara kami yang mengenainya. la segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata: “Hai Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam’. Beliau mejawab: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah. Selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau menunaikan haji ke Baitullah jiko engkau telah mampu melakukannya’. Lelaki itu berkata: ‘Engkau benar’. Maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian lelaki itu bertanya lagi: Beritahukanlah kepadaku tentang iman’. Nabi menjawab: “Iman adalah engkau meyakini Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari kiamat dan meyakini takdir Allah yang baik dan yang buruk. Ia berkata: ‘Engkau benar’. Lelaki itu bertanya lagi: “Beritahukanlah kepadaku tentang ihsan’. Nabi menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika tidak mampu melihatNya maka yakinlah bahwa Allah melihatmu’… Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Saya pun terdiam sehingga nabi bertanya kepada saya, ‘Wahai Umar, tahukan engkau siapa yang bertanyo tadi? Saya menjawab, ‘Allah dan rasulNya lebih mengetahui’. Beliau bersabda: la adalah Jibril yang datang kepada kalian mengajari kalian tentang agama kalian. (HR. Muslim). Jelaslah, ini menunjukkan tingkatan dalam agama Islam, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan.

Definisi ihsan

Definisi ihsan sudah nabi Jelaskan dalam hadits di atas, yaitu: hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika tidak mampu melihatNya maka yakinlah bahwa Allah melihatmu.

Dua Tahapan Ihsan

  1. Seseorang beribadah kepada Allah seakan-akan la melihatnya sebagai bentuk ibadah permohonan, kerinduan, keinginan dan kecintaan. Kecintaan kepadaNya menjadikan seseorang terus mencari jalan untuk bisa sedekat mungkin dengan-Nya. Merapat kepada-Nya. Jiwanya begitu rindu untuk terus bersama-Nya. Jiwanya berharap untuk bisa melihatnya di Surga kelak dua kali dalam sehari di saat penghuni Surga secara umum bisa melihatNya hanya sekali dalam seminggu (lihat: Fathul Bari li ibni Rajab 4:64, kitab ash-Shalat (Maktabah Syamilah)) yang merupakan puncak kenikmatan. Oleh karena itu ia terus beribadah, memperbanyaknya dan meningkatkan kwalitasnya seakan-akan melihat-Nya. Inilah tahapan ihsan yang tertinggi
  2. Jika seseorang tidak mampu beribadah kepada Allah seakan- akan melihat-Nya, maka beribadahlah kepada-Nya seakan-akan Dia lah yang melihatnya sebagai bentuk ibadah orang yang takut kepada-Nya, takut kepada murka-Nya, takut kepada azab-Nya. Jika tidak mampu melihat-Nya maka yakinlah Dia melihatnya. Mungkinkah seseorang berani mencuri barang-barang di supermarket yang dilengkapi dengan CCTV di berbagai titik? Tentu tidak berani. Nah, ini baru alat buatan manusia. Lalu bagaimana Allah’azza wajalla, Sang Khaliq yang Maha Meliputi ucapan dan gerak-gerik makhuluk-Nya. Mungkinkah seorang hamba mencari celah yang bisa menghindarkan diri dari pantauan-Nya sehingga bisa meninggalkan ibadah? Atau meninggalkan ketaatan? Atau melakukan maksiat? Kalau kita renungkan, dua tahapan ihsan di atas tidaklah terlepas dari tiga pilar ibadah; cinta (mahabbah), harap (roja) dan takut (khouf) yang disebutkan di  dalam al-Qur’an: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azob-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang harus ditakuti” (QS. Al-Isra’:57)

Mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat kepada Allah adalah makna cinta (mahabbah) mengharapkan rahmat-Nya adalah makna harap (roja”) dan takut kepada azab-Nya adalah makna takut (khouf).

Berbicara tentang tingkat keshalihan para hamba Allah menyebutkan di dalam al-Qur’an: “Kemudian kitob itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada zhalimun linafsihi, muqtashid, dan sabiqun bil khairat bi idznillah. Yang demikian itu adalah karunia yang sangat besar” (QS. Al-Fathir:32)

Disebutkan di dalam tafsir “Aysarut Tafasir” oleh Abu Bakar Jabir al-Jazalry yang dimaksud dengan zhalimun li nafsihi adalah orang yang menzhalimi diri sendiri dengan melakukan pelanggaran pada amaliyahnya dan melakukan sebagian dosa besar. Muqtashid adalah orang yang menunaikan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan dosa-dosa besar. Sabiqun bil khairat bi idznillah adalah orang yang menunaikan kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah dan meninggalkan dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil.

Agar kwantitas dan kwalitas ubudiyah kita bisa ditingkatkan, maka paling tidak kita harus melakukan empat perkara berikut ini:

  1. Hijrah

Tempat: berpindah dari tempat yang jelek ke tempat yang bagus Misalnya: Berpindah dari kos-kosan yang tidak kondusif untuk thalabul ilmi berpindah ke tempat yang kondusif, berpindah dari lingkungan yang tidak terdengar adzan ke lingkungan yang terdengar adzan, berpindah dari tempat kerja yang susah shalatnya ke tempat kerja yang mendukung ibadah.

Perbuatan: mengurangi kebiasaan menghabiskan waktu untuk menonton siaran sepak bola, mengurangi kebiasaan cangkrukan, mengurangi kebiasaan begadang, beralih dari kebiasaan membaca koran ke buku-buku agama.

Pelaku: berpindah dari teman yang suka merokok ke teman yang suka bersiwak, berpindah dari teman yang suka ghibah ke teman yang suka dzikir. Karena tiga perkara tersebut, tempat, perbuatan dan pelaku sangat berpengaruh kepada seseorang

  • Mengingat kematian. Dengan sering mengingatnya, seseorang akan mempersiapkan diri.
  • Menyadari bahwa kenikmatan dunia sangatlah rendah, tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan kenikmatan Surga.
  • Membaca sejarah (sirah) orang-orang shaleh, untuk mengambil ibrah dari mereka seperti kitab “Hilyatul Auliya” oleh Abu Nu’aim al-Asfahany.

Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ala Rosulillah wa ala ahlihi wa ashhabihiwa man woalah….

Sesungguhnya Agama Islam yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad , adalah agama yang paling sempurna. Dikarenakan didalamnya terdapat sangat banyak kebaikan, kasih sayang, keadilan, kemuliaan serta banyak pula didalamnya maslahat-maslahat bagi seluruh ummat manusia.

Ya… begitulah Islam. Agama Islam bukan hanya untuk bangsa Arab ataupun ummat muslim semata, akan tetapi agama Islam yang mulia ini adalah agama yang diturunkan oleh Allah untuk seluruh ummat manusia, dari zaman Nabi Adam sampai Nabi kita Muhammad

Wahai saudara-saudariku…. perlu kita ketahui bahwa Agama Islam yang mulia ini dibangun diatas tiga perkara, yaitu; Iman, Islam, Ihsan.

Hal diatas adalah sebagaimana hadits Jibril yang dimana Jibril bertanya kepada Rasulullah tentang Iman, Islam, dan Ihsan dengan tujuan mengajarkan Agama Islam kepada para sahabat Rasulullah. Akan tetapi perlu dipahami bahwa tingkatan derajat seseorang dimulai dari Islam; yang berarti seseorang berserah diri kepada Allah , kemudian tingkatan selanjutnya yaitu Iman; kemudian yang terakhir adalah Ihsan.

Pengertian Ihsan

Ihsan secara bahasa adalah berasal dari kata “ahsana-yuhsinu” yang berarti menjadi bagus, menjadi baik (dari yang semula). Adapun han secara syar’i adalah mana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam Hadits Jibril

قال فأخبرني عن الأحان، قال أن تعبد الله كانت تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك

dan Jibril berkata, “kababarkanlah kepadaku tentang Ihsan’, Rasulullah bersabda , ‘engkau beribadah kepada Allah seakan engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, maka ketahuilah bahwasannya Allah melihatmu’.” (Muttafaq ‘alaihi)

Syaikh Muhammad bin Shalihal Utsaimin berkata mengenai salah satu dan diantara faidah-faidah yang terdapat dalam hadits datas yaitu bawasannya adalah beribadah seorang hamba kepada Rabbnya dengan penuh kecintaan seakan dia melihat Rabbnya, hal ini merupakan tingkat yang paling sempuma dalan insan, dan setiap hamba harus berusaha untuk mencapainya. Dan apabila seorang hamba belum bisa mencapai tingkatan bersebut maka seminimalungkin lama dia berbedah kepada Allah dengan penuh takut dan cemas akan adzab Allah yang sangat pedis

TINGKATAN IHSAN

Dari penjelasan Syaikh Al-Utsaimin diatas, maka dapat disimpulan bahwa ihsan menpunyai dua tingkatan. Yaitu:

1. Terdapat dalam sabda Nabi

أن تعبد الله كأنك تراه

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah. (HR. Muslim)

2. Terdapat dalam sabda Nabi

فإن لم تكن تراه فإنه يراك

“Dan jika engkau belum dapat melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Jadi, ihsan adalah usaha atau kesungguhan seorang hamba untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Baik itu dalam beribadah kepada Allah , maupun dalam muamalah terhadap sesama mahluk Allah . Hal ini tentu membutuhkan niat serta dibarengi dengan tekad yang kuat untuk mau meningkatkan potensi diri dalam rangka menjadi hamba Allah yang muhsin.

Ihsan Dalam Ibadah

Ihsan dalam ibadah adalah beribadah kepada Allah dengan penuh ketaatan, kecintaan, serta terlepasnya seorang hamba dari hal-hal berikut;

  • Syirik

Yaitu beribadah kepada selain Allah Percaya akan adanya penguasa selain Allah serta takut kepada selain Allah sehingga merasa perlu di ibadahi. Maka perlu kita ketahui bahwasanya tidak ada yang berhak untuk di ibadahi dengan benar kecuali hanya Allah semata. Dan untuk mencapai derajat Ihsan perlu bagi seorang hamba untuk jauh-jauh dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan juga para pelakunya.

  • Bid’ah

Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan atau sesuatu yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya. Yaitu peribadatan yang tidak ada sama sekali tuntunan serta contohnya dari Rasulullah maupun para sahabat. Sehingga seorang yang berbuat bid’ah adalah orang yang sangat jauh dari derajat yang dinamakan Ihsan.

  • Riya

Riya adalah harapan atas pandangan orang lain agar tertuju kepada apa yang kita lakukan, lalu orang tersebut memuji kita dan kemudian kita merasa senang dengan pujian itu. Ketahuilah wahai saudaraku bahwa riya’ adalah sesuatu yang paling ditakutkan oleh Rasulullah kalau sampai menimpa umatnya.

  • Ujub

Yaitu timbulnya rasa berbangga diri atas suatu kebaikan yang pernah kita kerjakan. Baik itu berupa ibadah ataupun muamalah. Contohnya ketika seorang bangun tengah malam untuk melaksanakan qiyamullail atau shalat tahajjud, ketika itu dia merasa hanya dirinya yang terbangun dimalam itu dan hanya dirinya yang paling khusu’ ketika beribadah sehingga amalnya pasti diterima… Maka yang demikian perlu kita waspadai.

Ihsan Dalam Muamalah

Ihsan dalam muamalah sangatlah luas serta banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulillah yang memerintahkan kita untuk berbuat ihsan, karena muamalah sendiri menyangkut akan perilaku dalam kehidupan yang kita lalui sehari-hari. Baik itu perilaku kita dengan manusia, bahkan dengan binatang sekaligus.

Contohnya saja dengan manusia

Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)

Majalah Bulan April, 2014 Edisi 22