Inginkah Anda bertemu Allah subhanahu wa ta’ala? Tentu jawabannya, Ya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang suka berjumpa dengan Allah maka Dia ‘azza wa jalla suka berjumpa dengannya, dan barangsiapa benci berjumpa dengan Allah maka Dia ‘azza wa jalla benci berjumpa dengannya.” (HR. Bukhari Muslim). MelihatNya adalah kenikmatan tertinggi, tidak ada bandingannya. Dia subhanahu wa ta’ala hanya bisa dilihat di Surga, bukan di dunia. Tidak mungkin kita melihatNya kecuali mengenalNya terlebih dahulu. Dan tidak mungkin kita mengenalNya kecuali memahami keimanan kepadaNya. Keimanan kita kepadaNya tidak dibenarkan kecuali dengan mengetahui pembagian tauhid. Ada 3 macam tauhid; rububiyah, uluhiyah dan asma wa shifat.
1. Tauhid Rububiyah Kalau kita ditanya siapakah yang menciptkan manusia? Siapakah yang menciptakan hewan, pepohonan, bebatuan, air, udara? Siapakah yang menghidupkan manusia? Siapakah yang member i rizki? Siapakah yang menyembuhkan penyakit? Siapakah yang mematikan manusia? Siapakah yang menjadikan gerhana matahari, bulan? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya seputar penciptaan, pemeliharaan dan pemusnahan. Jika kita menjawab Allah ‘subhanahu wa ta’ala, maka berarti kita telah bertauhid rububiyah. Lalu apakah orang yang bertauhid rububiyah sudah otomatis disebut muslim (orang Islam)? Jawabannya adalah tidak, karena orang kafir pun bertauhid rububiyah. Tidakkah Anda membaca sejarah bahwa orang kafir Quraisy biasa menyebut Allah dan bersumpah dengan nama Allah. Tetapi mereka diperangi Nabi, ini menunjukkan bahwa mereka bukan muslim. Jadi tauhid Rububiyah saja tidaklah cukup.
2. Tauhid Uluhiyah Tauhid uluhiyah disebut juga tauhid ibadah. Ini adalah konsekwensi dari tauhid rububiyah. Setelah kita menyatakan Allah’azza wa jalla adalah Tuhan, maka konsekwensinya adalah segala ibadah apapun bentuknya harus hanya dipersembahkan untuk Allah ‘azza wa jalla . Tidak boleh untuk selainnya. Serahkan urusan keselamatan kepada Allah jangan kepada perbintangan atau perhitungan weton. Sandarkanlah diri Anda kepada Allah, jangan kepada penghuni-penghuni kubur dan jimatjimat. Bagaimana mungkin Anda yang telah meyakini bahwa Allah lah Dzat pemberi rizki, sementara Anda masih mendatangi dukun atau paranormal? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Barangsiapa mendatangi paranormal lalau bertanya tentang sesuatu maka shalatnya tidak dierima selama 40 hari” (HR.Muslim)
3. Tauhid Asma wa Shifat Asma artinya nama dan Shifat artinya sifat. Bolehkah menyebut Allah ‘azza wa jalla dengan Yahweh, sang hyang widi, tuhan bapa dan lain sebagainya? Tidak boleh. Allah’azza wa jalla harus dipanggil dengan asma dan shifat yang Dia sebutkan untuk dirinya. Orang kafir hanya mengenal nama “Allah” tidak mengenal asma wa Shifat. Sehingga ketika Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “Bismillahirramanirrahim”, mereka berkomentar; “Siapa itu arRahman, siapa ar-Rohim? Kami tidak kenal, kami hanya mengenal nama “Allah”. Kita harus berhati-hati dalam membahas asma wa shifat, karena Allah mengancam bagi yang menyimpang dalam memahami nama dan sifatnya. Silahkan lihat Os. Al-A’rof:180.
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, “(Termasuk prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum mu’minin) akan melihat (wajah Allah Ta’ala yang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih.” [Ushuulus sunnahhal. 23, cet. Daarul manaar, Arab Saudil Imam Ismail bin Yahya al-Muzani, murid senior Imam asy-Syafi’i, berkata, “
zani, murid senior Imam asy-Syafi’i, berkata, Penghuni surga pada hari kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Ta’ala), mereka tidak merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allah Ta’ala, maka wajah-wajah mereka akan ceria dengan kemuliaan dariNya dan mata-mata mereka dengan karunia-Nya akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi…” (Syarhus Sunnah hal. 82, cet. Maktabatul gurabaa’ al-atsariyyah, Madinah] Imam Abu Ja’far ath-Thahawi menegaskan prinsip yang agung ini dengan lebih terperinci dalam ucapannya, “Memandang wajah Allah Ta’ala bagi penghuni surga adalah kebenaran (yang wajib diimani), (dengan pandangan) yang tanpa meliputi (secara keseluruhan dan tanpa (menanyaka bagaimana (keadaan yang sebenarnya), sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an): “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyamah:22-23). Allah Ta’ala berfirman,
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌ، اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS al-Qiyaamah:22-23)
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah Ta’ala dengan mata mereka di akhirat nanti, karena dalam ayat ini Allah Ta’ala menggandengakan kata “melihat” dengan kata depan “ilaa” yang ini berarti bahwa penglihatan tersebut berasal dari wajah-wajah mereka, artinya mereka melihat wajah Allah Ta’ala dengan indera penglihatan mereka. Bahkan firman Allah Ta’ala ini menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka yang indah dan berseri-seri karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan, menjadi semakin indah dengan mereka melihat wajah Allah Ta’ala. Dan waktu mereka melihat wajah Allah Ta’ala adalah sesuai dengan tingkatan surga yang mereka tempati, ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi dan petang, dan ada yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap pekan.
Allah Ta’ala berfirman,
لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوْهَهُمْ قَتَرٌ وَّلَا ذِلَّةٌ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yunus:26). Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami makna firman Allah Ta’ala. Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas. [HR. Muslim no. 181] Imam Ibnu Katsir berkata, “(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah” [Tafsir Ibnu Katsir 4/262]
Allah Ta’ala berfirman,
لَهُمْ مَّا يَشَاۤءُوْنَ فِيْهَا وَلَدَيْنَا مَزِيْدٌ
“Mereka di dalamnya (surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami (ada) tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala)” (QS Qaaf:35).
Allah Ta’ala berfirman,
كَلَّآ اِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَىِٕذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka” (QS al-Muthaffifin:15).
Imam asy-Syafi’i ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Ketika Allah menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada mereka), maka ini menunjukkan bahwa orangorang yang dicintai-Nya akan melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka)” [Tafsir Ibnu Katsir 8/351] Imam Ibnu Katsir berkata, “(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman akan melihat (wajah) Allah Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang mencapai derajat) mutawatir, menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk ditolak dan diingkari”. (Tafsir Ibnu Katsir 8/279] Di antaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (Allah Ta’ala pada hari kiamat nanti) sebagaimana kalian melihat bulan purnama (dengan jelas), dan kalian tidak akan berdesak-desakan dalam waktu melihat-Nya…” [HR. al-Bukhari no. 529 dan Muslim no. 633]
Penulis : Muhammad Nur Yasin Zain, Lc. Hafizhahullah
(Pengasuh Pesantren Mahasiswa THAYBAH Surabaya)
Majalah Bulan Maret, 2013 Edisi 9